Minggu, 18 Desember 2011

Tinjauan Yuridis terhadap Kekebalan Gedung Diplomatik (Studi Terhadap Kasus Kedutaan Besar Irak di Islamabad Februari 1973)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Seiring perkembangan hubungan internasional dewasa ini, khususnya hubungan diplomatik dan hubungan konsuler yang dilakukan antar negara mengalami perkembangan yang cukup pesat. Terlebih lagi dengan isu globalisasi semakin menegaskan kompleksitas hubungan internasional, baik secara bilateral maupun multirateral. Hubungan antar negara secara bilateral sering diwujudkan dalam bentuk pembukaan perwakilan diplomatik di masing-masing negara dengan tujuan dapat dilakukan hubungan tersebut dengan intensif, berkesinambungan, dan konkret. Dibukanya perwakilan diplomatik tersebut, selain untuk menjalin hubungan persahabatan antar dua negara, juga dimaksudkan untuk meningkatkan kerjasama, baik di bidang ekonomi, politik maupun kebudayaan iptek.[1]


Perkembangan masyarakat internasional yang demikian pesat memberikan suatu dimensi baru dalam hubungan internasional. Hukum internasional telah memberikan suatu pedoman pelaksanaan yang berupa konvensi-konvensi ini kemudian menjadi dasar  bagi negara-negara dalam melaksanakan hubungannya dengan negara lain di dunia.
     
Awalnya pelaksanaan hubungan diplomatik antarnegara didasarkan pada prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara, prinsip kebiasaan berkembang demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut. Dengan semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang merupakan suatu kebiasaan yang diterima umum sebagai hukum oleh masyarakat internasional.
Dengan semakin berkembangnya hubungan antarnegara, maka dirasakan perlu untuk membuat suatu peraturan yang dapat mengakomodasi semua kepentingan negara-negara tersebut  hingga akhirnya Komisi Hukum Internasional (International Law Comission) menyusun suatu rancangan konvensi internasional yang merupakan suatu wujud dari kebiasaan-kebiasaan internasional di bidang hukum diplomatik yang kemudian dikenal dengan Vienna Convention On Diplomatik Relation 1961 (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik). Konvensi wina 1961 adalah sebagai pengakuan oleh semua negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah ada sejak dahulu. Konvensi Wina 1961 telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting karena masyarakat internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik khususnya yang menyangkut kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang sangat mutlak diperlukan bagi semua negara, khususnya para pihak agar di dalam melaksanaakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas diplomatknya dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta dalam meningkatkan hubungan bersahabat antara semua negara. Konvensi Wina 1961 membawa pengaruh besar  dalam perkembangan hukum diplomatik. Hampir semua negara yang mengadakan hubungan diplomatik menggunakan ketentuan dalam konvensi sebagai landasan hukum dalam pelaksanaannya.
Agar suatu konvensi dapat mengikat negara tersebut harus menjadi pihak dalam konvensi. Adapun kesepakatan untuk mengikatkan diri pada konvensi merupakan tindak lanjut negara-negara setelah diselesaikan suatu perundingan untuk membentuk perjanjian internasional. Tindakan-tindakan inilah yang melahirkan kewajiban-kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi. Akibat dari pengikatan diri ini adalah negara-negara yang menjadi peserta harus tunduk pada peraturan-peraturan yang terdapat dalam konvensi baik secara keseluruhan atau sebagian. Akibat dari adanya perbedaan-perbedaan pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian internasional oleh dua negara akan menimbulkan sengketa.
Berdasarkan kajian histori diplomasi, telah didokumentasikan ada sekitar 14 ragam tindakan atau reaksi yang dilakukan suatu negara lain jika suatu sengketa terjadi. Diantaranya adalah surat protes, denials/accusation (tuduhan/penyangkalan), pemanggilan dubes untuk konsultasi penarikan dubes, ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau total), propaganda anti negara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik secara resmi, mobilisasi pasukan militer (parsial atau total) walaupun sebatas tindakan nonviolent, peniadaan kontak antar warganegara (termasuk komunikasi), blockade formal, penggunaan kekuatan militer terbatas (limited use of force) dan pencetusan perang. [2] Namun tindakan-tindakan tersebut tidak mesti berurutan karena dapat saja melompat dari yang satu ke yang lain. Untuk sampai pada tingkat ketegangan berupa pemutusan hubungan diplomatik apalagi perang perlu ditakar terlebih dahulu derajat urgensinya sebelum pengambilan keputusan yang bersifat drastis tersebut. Perang adalah kebijakan paling ekstrim yang dapat saja terjadi namun tidak terjadi begitu saja itu adalah kemungkinan terburuk yang akan dihadapi oleh kedua negara. Dalam teori diplomasi klasik kerap disebut bahwa perang terjadi jika diplomasi telah gagal. Pada praktek politik kontemporer, perang dan diplomasi dapat saja berjalan bersamaan. Namun demikian pencetusan perang tetap merupakan keputusan besar dengan biaya yang sangat mahal, baik secara ekonomis, politis bahkan pengorbanan darah dan nyawa. Oleh sebab itu, pencetusannya tidak cukup hanya karena pertimbangan emosional. Perkembangan dunia yang terdiri dari bebagai negara berdaulat ini terdapat dua factor yang paling penting dalam pemeliharaan perdamaian yaitu hukum internasional dan diplomasi.
Hukum internasional memberikan tatanan bagi dunia dalam rangka  pemeliharaan perdamaian. Diplomasi mempunyai peran yang sangat beragam dalam hubungan internasional. Upaya manusia untuk memecahkan persoalan perang dan damai telah dianggap sebagai metode manusia yang paling tua. Diplomasi dengan penerapan metode negoisasi, persuasi, tukar pikiran dan sebagainya dalam menjalankan hubungan antara masyarakat yang terorganisasi mengurangi kemungkinan penggunaan kekuatan  yang sering tersembunyi di belakangnya (militer). Pentingnya diplomasi sebagai pemeliharaan keseimbangan dan kedamaian tatanan internasional telah sangat meningkat dalam dunia modern ini. Banyak kasus-kasus pelanggaran hubungan diplomatik yang terjadi dari dulu sampai sekarang adalah banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dan juga pelanggaran gedung perwakilan diplomatik. Oleh karena itu harus dicari bagaimana mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan hal tersebut internasional dan praktik-praktik yang telah diterapkan oleh beberapa negara dunia dan berdasarkan hukum yang berlaku.
Maka harus dicari terlebih dahulu apa pengertian dari kata diplomasi, namun tidak ada kesatuan pendapat dari para ahli mengenai pengertian kata diplomasi. Menarik kesimpulan dari beberapa pendapat ahli ada beberapa faktor penting mengenai pengertian “diplomasi”
1.      Adanya hubungan antarbangsa untuk merintis kerjasama dan persahabatan
2.      Hubungan tersebut dilakukan melalui pertukaran misi diplomatik, termasuk para pejabatnya
3.      Para pejabat diplomatik tersebut harus diakui statusnya sebagai agen diplomatik
4.      Agar para diplomat itu dapat melakukan tugas dan fungsinya dengan efisien, mereka perlu diberikan kekebalan dan keistimewaan yang didasarkan atas aturan-aturan dalam hukum kebiasaan internasional serta perjanjian-perjanjian lain yang menyangkut hubungan diplomatik antarnegara.[3]
Dengan demikian, pada hakikatnya hukum diplomatik merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antara negara yang dilakukan atas dasar pemufakatan bersama dan ketentuan. Selain itu, prinsip-prinsip tersebut dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional.
Di dunia ini, tidak ada satupun negara yang bisa melaksanakan kegiatan kenegaraan terutama di bidang internasional tanpa berhubungan dengan negara lain.Bagi pembentukan suatu negara yang merupakan subjek penuh hukum internasional diperlukan unsur-unsur konstitutif sebagai berikut:
1.      Penduduk yang tetap
2.      Wilayah tertentu
3.      Pemerintah
4.      Kedaulatan
Selaras dengan pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933 yang memasukkan unsur ke-4 bagi pembentukan negara yaitu kemampuan/kapasiatas untuk mengadakan hubungan dengan  negara lain (capacity to enter into relations with other states) sebagai salah satu syarat penting pendirian negara namun akibat perkembangan hubungan antarnegara sangat cepat, ketentuan Konvensi Montevideo yang berisikan unsur kapasitas tersebut sudah agak ketinggalan dan diganti dengan kedaulatan sebagai unsur konstitutif keempat pembentukan negara mengingat artinya yang sangat penting dan ruang lingkup yang lebih luas[4].
Indonesia adalah salah satu negara yang  berkembang di dunia internasional maka penting untuk bisa melakukan hubungan dengan negara lain. Dapat dikatakan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara lain dimulai pada saat Mesir  mengakui kemerdekaan  Indonesia. Sejak mendapat kemerdekaan itu Indonesia dapat melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain seperti Mesir dengan menempatkan perwakilan atau pejabat diplomatiknya di wilayah Negara Mesir dan begitu pula sebaliknya dengan Mesir yang menempatakan perwakilan atau pejabat diplomatiknya di wilayah negara Indonesia, serta masing-masing negara juga harus memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan bagi para diplomat tersebut di negara penerima.
Pada mulanya pelaksanaan serta pengakuan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik berdasarkan pada kebiasaan praktik yang berlangsung antar negara yang mengadakan pertukaran wakil diplomatik. Perkembangan dunia internasional kemudian merasakan perlu adanya pembuatan suatu konvensi internasional, sebagai dasar hukum tertulis yang umum dan dapat digunakan oleh semua negara secara timbal balik. Kecenderungan ini akhirnya menghasilkan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang merupakan pengakuan hukum internasional akan adanya pemberian hak-hak kekebalan diplomatik tersebut. Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu terdapat 2 Protokol Pilihan (Optional Protocol) mengenai Perolehan Kewarganegaraan dan Keharusan untuk Menyelesaikan Sengketa yang masing-masing terdiri dari 8 dan 10 pasal. Konvensi Wina 1961 dan kedua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964. Dalam Konvensi Wina mengatur tentang hak untuk tidak diganggu-gugatnya para diplomat dalam menjalankan tugas dan fungsinya di negara penerima secara layak (the right of inviolability), oleh karena itu hak tersebut juga diberlakukan terhadap gedung perwakilannya termasuk arsip dan dokumen lainnya serta termasuk kediaman para diplomat juga diperkenakan dengan hak yang sama dan tidak dapat diganggu-gugat oleh negara penerima. Maka baik gedung perwakilan maupun rumah kediaman para Duta Besar keduanya diberlakukan sama menurut hukum internasional.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa gedung perwakilan asing tidak dapat diganggu-gugat, bahkan petugas maupun alat negara setempat tidak dapat memasukinya tanpa izin perwakilan. Maka negara penerima tidak akan sanggup berbuat apa-apa jika fungsi gedung diplomat disinyalir atau dicurigai melakukan praktik pelanggaran pidana seperti penyelundupan senjata,obat obatan terlarang dan lain-lain karena untuk membuktikannya harus masuk langsung ke gedung diplomatik hal semacam  itu pernah terjadi di dalam kasus Kedutaan Besar Irak di Islamabad, Kasus tersebut terjadi di dalam bulan Februari 1973. Kejadian ini bermula ketika sebuah peti kemas yang dialamatkan kepada Kedutaan Besar Irak di Islamabad secara tidak sengaja mengalami kerusakan sehingga terungkap oleh pejabat Bea Cukai Pakistan bahwa sebenarnya peti kemas tersebut berisi senjata yang jumlahnya cukup banyak. Atas terjadinya peristiwa tersebut Kementerian Luar Negeri Pakistan meminta kepada Duta Besar Irak untuk mengizinkan polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak di Islamabad. Permintaan tersebut ditolak oleh Duta Besar Irak, kemudian polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak dengan paksa, dan ternyata benar telah menemukan 59 peti yang berisi senjata, bahan peledak dan amunisi yang harus diserahkan kepada pemberontak Belouchistan[5], dari gambaran kasus di atas untuk mendapat akses masuk ke dalam Kedutaan Besar harus melalui izin pejabat diplomat yang terkait. Jadi sangat sulit untuk bisa mengungkap dugaan praktek pelanggaran pidana tersebut oleh negara penerima. Oleh karena itu dalam hal ini perlu kita kaji atau telaah lebih dalam mengenai masalah penyalahgunaan gedung diplomatik oleh pejabat diplomatik yang memanfaatkan hak kebal gedung tersebut sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan oleh alat-alat kelengkapan dari pemerintahan setempat di negara penerima, yang dimana penyalahgunaan gedung tersebut bisa mengganggu keamanan, kedamaian dan kedaulatan di negara penerima.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Dapatkah  negara penerima melakukan penerobosan (pemaksaan) masuk ke dalam gedung kedutaan asing di negara penerima demi kepentingan keamanan, kedamaian dan kedaulatan suatu negara?
2.      Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh negara penerima terhadap pejabat Diplomat yang tidak menjalankan fungsi dan tujuan gedung diplomat sebagaimana mestinya ?

C.    TUJUAN PENELITIAN
1.      Untuk menganalisa penerobosan (pemaksaan) masuk ke dalam gedung kedutaan asing di negara penerima oleh negara penerima demi kepentingan keamanan, kedamaian dan kedaulatan suatu negara
2.      Untuk menganalisa upaya hukum  yang dapat dilakukan oleh negara penerima terhadap pejabat Diplomat diplomat yang tidak menjalankan fungsi dan tujuan gedung diplomat sebagaimana mestinya

D.    MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
  1. Manfaat teoritik
Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan pengetahuan hukum pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum diplomatik pada khususnya terutama mengenai pelanggaran kekebalan diplomatik terhadap gedung diplomatik.
  1. Manfaat praktis
a.      Bagi Mahasiswa
Dapat memahami berbagai macam fenomena dan perkembangan hukum internasional. Dalam hal ini dapat lebih memahami pelanggaran dan penyalahgunaan kekebalan diplomatik oleh diplomat terhadap gedung diplomatik.
b.      Bagi Pihak Fakultas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai fenomena hukum internasional, serta masukan dan referensi dalam hal pelanggaran dan penyalahgunaan kekebalan diplomatik oleh diplomat terhadap gedung diplomatik
c.       Bagi Akademisi lainnya serta masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai pelanggaran kekebalan diplomatik terhadap gedung diplomatik, serta menjadi literatur yang bermanfaat bagi peneliti-peneliti ataupun kalangan akademisi lainnya yang memiliki ketertarikan serupa terutama pada studi keilmuan hukum diplomatik. Penelitian ini juga diharapkan mampu menstimulasi akselerasi pemahaman para pembaca mengenai pelanggaran dan penyalahgunaan kekebalan diplomatik oleh diplomat terhadap gedung diplomatik, sekaligus memahami konsep-konsep yang terkait dengan kekebalan dalam hukum diplomatik.
d.      Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber pertimbangan dan bahan pengambilan keputusan serta kebijakan hukum khususnya hukum diplomatik terkait pelanggaran kekebalan diplomatik dan penyalahgunaan kekebalan diplomatik oleh diplomat terhadap gedung diplomatik dalam suatu Negara.

E.     Sistematika Penulisan
BAB I  : PENDAHULUAN
Berisi latar belakang; rumusan masalah; tujuan penelitian; manfaat penelitian; serta sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II : TIJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang kajian umum, yang berisi teori/pendapat sarjana yang melandasi penulisan dan pembahasan yang berkaitan dengan judul.
BAB III: METODE PENELITIAN
Berisi pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, jenis bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, teknik analisis, dan definisi konseptual.

BAB IV : PEMBAHASAN
Uraian tentang pembahasan dari semua rumusan permasalahan yang diangkat.
BAB V  : PENUTUP
Berisi Kesimpulan dari uraian jawaban dari rumusan masalah dan saran.



















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Sumber Hukum Internasional
Membicarakan perihal sumber hukum diplomatik tentunya tidak dapat dipisahkan dari sumber hukum internasional karena hukum diplomatik pada dasarnya adalah bagian dari hukum internasional itu sendiri. Menurut Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, sumber hukum intenasional meliputi :
1.      Konvensi atau perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum atau khusus ;
2.      Kebiasaan internasional (international custom);
3.      Prinsip-prisip umum hukum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;
4.      Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teaching of the most highly qualified publicists) merupakan sumber tanbahan hukum internasional.[6]

1.      Konvensi atau perjanjian internasional.
Konvensi atau perjanjian internasional dalam arti umum pada hakikatnya melibatkan banyak negara sebagai pihak, oleh karena itu konvensi atau perjanjian secara lazim dikenal memiliki sifat multilateral. Sementara dalam arti khususnya, konvensi dapat terjadi dengan hanya beberapa negara dan apabila hanya antara 2 negara saja, secara umum disebut dengan sifat bilateral.
            Konvensi atau perjanjian internasional secara umum sudah dapat dikenal dan diterima sebagai sumber hukum internasional. Akan tetapi perlu kita ingat bahwa banyak perjanjian internasional tidak menciptakan suatu peraturan umum dalam hukum internasional, melainkan hanya bersifat pernyataan tentang peraturan-peraturan yang sudah ada. Oleh sebab itu, perjanjian internasional yang dapat dikatakan sebagai sumber hukum internasional bukanlah perjanjian internasional biasa, melainkan dalam jenis khusus yang disebut sebagai perjanjian yang menciptakan hukum (law making treaty).
            Perlu dipahami jika perjanjian yang sifatnya menciptakan hukum tidak dapat dipaksakan atau tidak memiliki sifat mengikat bagi negara-negara yang melakukan penolakan secara khusus atas perjanjian tersebut. Contoh dari perjanjian internasional yang menciptakan hukum:
1.      The final Act of the congress of Vienna (1815) on Diplomatik Ranks.
2.      Vienna Convention on Diplomatik Relations and Optional Protocols (1961).
            Disamping konvensi, ada juga resolusi atau deklarasi yang dikeluarkan terutama sekali oleh Majelis Umum PBB yang dapat menimbulkan permasalahan apakah keduanya dapat dianggap memiliki kewajiban-kewajiban hukum yang mengikat. 
            Berkenaan dengan masalah mengenai resolusi itu, secara tradisional, resolusi dan deklarasi yang tidak memiliki sifat seperti perjanjian haruslah dianggap tidak memiliki kekuatan wajib karena tidak menciptakan hukum, akan tetapi disamping pandangan secara tradisional itu, mulai berkembang adanya teori dari kesepakatan sampai pada konsensus yang menjadi dasar bagi negara-negara akan keterikatannya dengan kewajiban-kewajiban hukum yang bersangkutan.
            Meskipun ada dua pendapat seperti yang telah diajukan di atas, kekuatan mengikat bagi sebuah resolusi memang masih belum jelas batasannya. Persoalan yang ada adalah apabila resolusi itu disetujui oleh mayoritas negara anggota, apakah resolusi itu memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini, resolusi yang dihasilkan dengan jalan biasa tidak akan menjadikan, merumuskan atau mengubah resolusi itu menjadi hukum internasional. Akan tetapi, resolusi baru benar-benar dikatakan memiliki kekuatan mengikat apabila resolusi itu memperoleh dukungan secara universal, atau Jika Majelis umum PBB memiliki maksud untuk menyatakan resolusi itu menciptakan hukum atau menyatakan sebagai dasar hukum dan jika isi dari resolusi itu tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan umum negara. Contoh dari resolusi yang menjadi sumber hukum internasional Resolusi 3166 (XXVIII).[7]


2.      Kebiasaan Internasional
                Kebiasaan internasional dalam hal hukum diplomatik adalah sumber penting dalam hukum diplomatik, karena sebelum hubungan diplomatik itu diatur secara tertulis atau legal dan diakui secara internasional oleh Konvensi Wina 1961, hubungan diplomatik antar negara sudah ada dan dilakukan sejak zaman dahulu dimana masing-masing kepala perwakilan negara saling bertukar dan ditempatkan di masing-masing negara penerima. Mengenai kedudukan kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional telah dinyatakan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional dan dianggap sebagai kenyataan dari praktik-praktik umum yang diterima sebagai hukum, Akan tetapi, dasar hukum dari kebiasaan internasional ini sebelumnya telah menimbulkan pertentangan terutama bagi negara yang baru berdiri.
                Masalah mengenai dasar hukum dari kebiasaan internasional ini diperdebatkan di Komisi Hukum Internasional dan di Komite Umum PBB terutama saat merumuskan rancangan Pasal 24 Statuta Komisi Hukum Internasional yang telah disepakati bersama bahwa :
“a general recogintion among states of a certain practice as obligatory”, the emergence of a principle or rule of customary international law would seem to require presence of the following elements :
a.      Concordant practice by a number of states with reference of a type of situation failing within the domain of interantional relations;
b.      Continuation or repetition of the practice over the considerable period of time;
c.       Conception that the practice is required by, or consistent with, prevailing international law; and
d.      General acquiescence in the practice by other States. [8]
Kebiasaan dan perjanjian internasional adalah sumber pokok dalam hukum diplomatik, sementara sumber hukum diplomatik lain yang sifatnya adalah subsider adalah :
a.       Prinsip hukum umum.
b.      Doktrin atau Keputusan Mahkamah internasional.
3.      Prinsip Hukum Umum
            Yang dimaksudkan dengan prinsip hukum umum adalah prinsip-prinsip umum yang diakui dalam hukum yang diakui oleh negara-negara. Prinsip hukum umm yang berkaitan dengan hukum diplomatik salah satu contohnya adalah prinsip kebebasan membuka hubungan antar negara baik itu secara bilateral ataupun multilateral. Khusus mengenai keputusan Mahkamah, sumber hukum ini pada hakikatnya tidak memiliki kekuatan yang mengikat (seperti halnya prinsip hukum umum) kecuali bagi pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam suatu kasus.[9]
4.      Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teaching of the most highly qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional
                Keputusan-keputusan pengadilan memainkan peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional. Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional misalnya dalam sengketa-sengketa ganti rugi dan penangkapan ikan telah memasukkan unsur-unsur baru ke dalam hukum internasional yang selanjutnya mendapat persetujuan-persetujuan negara secara umum. Di samping itu karya dari  tokoh-tokoh kenamaan dapat memainkan peranan dalam proses pembentukan ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah juga diperbolehkan untuk memutuskan suatu perkara secara ex aequo et bono yaitu keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasar prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.[10]

B.     Pengertian Diplomasi
      Berbicara mengenai hukum diplomatik tentunya tidak dapat terpisah dari apa yang dinamakan dengan diplomasi.  Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Ada beberapa ahli yang mencoba untuk memberikan definisi diplomasi, beberapa diantaranya adalah :
1.      Random House Dictionary :
“The conduct by goverment officials of negotiations and other relations between nationas; the art of science of conducting such negotiations; skill in managing negotiations, handling of people so that there is little or no ill-will tact”.
2.      Sir Ernest Satow  ;
“Diplomacy is the application of intelligence and tact to the conduct of official relations between the Goverments of Independent States, extending sometimes also to their relations with vassal states; or more briefly still, the conduct of business between States by peaceful means”.
3.      Quency Wright ( dalam buku The Study of International Relations) memberikan batasan dalam 2 cara :
a.      The employment of tact, shrewdness, and skill in any negotiation or transaction.
b.      The art of negotiation in order to achieve the maximum of cost, within a system of politics in which war is a possibility.
4.      Harold Nicholson :
a.      The management of internal relations by means of negotiation.
b.      The method by which these relations are adjusted and manage by ambassadors and envoys.
c.       The business of art of the diplomatist.
d.      Skill or address in the conduct of international intercourse and negotiations
5.      Brownlie
 “...diplomacy comprises any means by which states establish or maintain mutual relations,  communicate with each other, or carry out political or legal transactions, in each case  through their authorized agents”. [11]
Jadi diplomasi dapat dikatakan sebagai tenaga kerja dari kebijaksanaan strategis agar memperoleh keuntungan atau untuk saling menemukan solusi dari sebuah permasalahan yang sedang dihadapi sehingga dapat diterima oleh dua atau banyak pihak. Dan hal ini dilakukan dengan cara halus, sopan, serta tanpa sikap konfrontatif. Sedangkan diplomatik dapat diartikan hubungan resmi antara negara dengan negara.
Jika ditinjau dari pengertian secara tradisionalnya, hukum diplomatik digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara yang telah membina hubungan diplomatik.[12] Pengertian hukum diplomatik secara tradisional itu kini telah meluas karena hukum diplomatik sekarang bukan sekedar mencakup hubungan diplomatik dan konsuler antar negara, akan tetapi juga meliputi keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional.
 Ada beberapa faktor penting yang didapatkan dari pengertian hukum diplomatik yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu :
1        Hubungan antar bangsa untuk merintis kerja sama dan persahabatan.
2        Hubungan itu dilakukan dengan pertukaran misi diplomatik.
3        Pejabat diplomatik harus diakui statusnya sebagai agen diplomatik.
4        Agar para diplomat itu dapat melakukan tugas dan fungsinya dengan efisien, mereka perlu diberikan kekebalan dan keistimewaan yang didasarkan atas aturan-aturan dalam hukum kebiasaan internasional serta perjanjian-perjanjian lain yang menyangkut hubungan diplomatik anternegara. [13]
 Dari faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, maka pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional.

C.    Konvensi-konvensi Mengenai Hubungan Diplomatik
1.      Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik
Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci.
Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.
Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.
2.      Konvensi New York mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang-orang yang menurut hukum internasional termasuk para diplomat.
Dalam perkembangannya, hukum diplomatik telah mencatat kemajuan lebih lanjut dengan secara khusus mengharuskan melalui sebuah konvensi, suatu kewajiban penting bagi negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang ditujukan pada seseorang, kebebasan dan kehormatan para diplomat serta untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik. Dalam tahun 1971, Organisasi Negara-negara Amerika telah menyetujui suatu konvensi tentang masalah tersebut. Dalam sidangnya yang ke-24 dalam tahun 1971, sehubungan dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan kepada misi diplomatik termasuk juga para diplomatnya, Majelis Umum PBB telah meminta Komisi Hukum Internasional untuk mempersiapkan rancangan pasal-pasal mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi secara hukum internasional. Konvensi mengenai masalah itu akhirnya disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada tanggal 14 Desember 1973 dengan resolusi 3166(XXVII).
 Dalam mukadimahnya, ditekankan akan pentingnya aturan-aturan hukum internasional mengenai tidak boleh diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi orang-orang yang menurut hukum internasional harus dilindungi termasuk kewajiban-kewajiban negara dalam menangani dan mengatasi masalah itu. Konvensi New York 1973 ini terdiri dari 20 pasal dan walaupun hanya beberapa ketentuan tetapi cukup untuk mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan perlindungan dan penghukuman terhadap pelanggaran. [14]

D.    Fungsi, Tugas, Peranan dan Tujuan Perwakilan Diplomatik
a)      Fungsi dan Tujuan Perwakilan Diplomatik menurut Kongres Wina 1961 mencakup  hal-hal berikut :
1        Mewakili negara
2        Melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara penerima di dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum internasional
3        Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima
4        Memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima sesuai dengan undang-undang dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim
5        Memelihara hubungan persahabatan antara dua negara.
b)      Tugas pokok perwakilan diplomat yang antara lain sebagai berikut:
1        Menyelenggarakan hubungan dengan negara lain atau hubungan kepala negara dengan pemerintah asing.
2        Mengadakan perundingan masalah masalah yang dihadapi oleh kedua negara itu dan berusaha untuk menyelesaikannya.
3        Mengurus kepentingan negara serta warga negaranya di negara lain.
4        Apabila dianggap perlu dapat bertindak sebagai tempat pencatatan sipil, paspor, dsb.
c)      Peranan perwakilan diplomatik
1        Menetukan tujuan dengan menggunakan semua daya upaya dan tenaga dalam mencapai tujuan tersebut.
2        Menyesuaikan kepentingan bangsa lain dengan kepentingan nasional sesuai dengan tenaga dan daya yang ada.
3        Menentukan apakah tujuan nasional sejalan atau berbeda dengan kepentingan negara lain.
4        Menggunakan sarana dan kesempatan yang ada dan sebaik baikya dalam menjalankan tugas diplomatiknya.
d)     Tujuan Diadakannya Hubungan Diplomatik
1        Melindungi warga negara yang berada di luar negeri
2        Menerima pengaduan
3        Memelihara kepentingan negaranya di negara penerima[15]
Maka seorang pejabat diplomatik tidak boleh menyalahi Fungsi, tugas, peranan dan tujuan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Jadi seorang pejabat diplomatik yang professional, berkwalitas dan baik akan menjalankan misinya sesuai dengan aturan yang ada.

E.     Perangkat Perwakilan Diplomatik.
1.      Duta besar berkuasa penuh ( Ambassador ).
Duta besar merupakan duta yang berada di tingkatan tertinggi dan mempunyai kekuasaan penuh dan luar biasa dan biasanya ditempatkan di negara negara yang banyak menjalin hubungan timbal balik.
2.      Duta ( Gerzant ).
Wakil diplomatik yang pangkatnya lebih rendah dari duta besar, dalam menyelesaikan segala persoalan kedua negara dia diharuskan berkonsultasi dengan pemerintahnya.
3.      Menteri residen.
Menteri residen dianggap bukan sebagai wakil pribadi kepala negara, dia hanya mengurus urusan negara. Mereka ini pada dasarnya tidak berhak mengadakan pertemuan dengan kepala negara dimana mereka bertugas.
4.      Kuasa usaha ( Charge de Affair ).
Kuasa usaha yang tidak diperbantukan kepada kepala negara dapat dibedakan atas :
a)      Kuasa usaha tetap menjabat kepala dari suatu perwakilan.
b)      Kuasa usaha sementara yang melaksanakan pekerjaan dari kepala perwakilan ketika pejabat ini belum atau tidak ada di tempat.
5.      Atase.
Atase adalah pejabat pembantu dari duta besar berkuasa penuh. Atase ini terbagi menjadi dua yaitu :
a)      Atase pertahanan.
Atase ini dijabat oleh seorang perwira militer yang diperbantukan depertemen luar negeri dan diperbantukan di kedutaan besar serta diberikan kedudukan sebagai seorang diplomat yang bertugas memberikan nasihat di bidang militer dan pertahanan keamanan kepada duta besar berkuasa penuh.
b)      Atase teknis.
Atase ini dijabat oleh seorang pegawai negeri yang tidak berasal dari depertemen luar negeri dan ditempatkan di salah satu kedutaan besar, atase ini berkuasa penuh dalam menjalankan tugas tugas teknis sesuai dengan tugas pokok dari departemennya sendiri.
Dalam Konvensi Wina 1961 ditentukan bahwa kepala-kepala misi diplomatik dibagi menjadi tiga kelas yaitu :
1.      ambassador atau nuncious diakreditasikan pada kepala negara dan kepala misi lain yang sederajat
2.      envoys,minister, dan internuncios diakreditasikan kepala negara
3.      charge d’affaires diakreditasikan kepada menteri luar negeri.
Akan tetapi klasifikasi staf perwakilan yang diatur dalam kebiasaan diplomatik (dalam artian kebiasaan yang ada di lapangan) dalam menjalankan fungsinya adalah sebagai berikut :
1.      Kepala perwakilan
2.      Minister
3.      Minister Counselor
4.      Councelor
5.      Sekretaris I
6.      Sekretaris II
7.      Sekretaris III
8.      Atase[16]
Jadi semua perangkat pejabat diplomatik yang ada mulai dari kepala perwakilan atau yang biasa disebut sebagai ambassador sampai pejabat paling bawah termasuk keluarga-keluaraga dari pejabat yang disebutkan di atas mendapat hak kekebalan dan hak istimewa dari negara penerima sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Wina 1961.
F.     Pengangkatan dan Penerimaan Perutusan Diplomatik
Pengangkatan seorang individu sebagai Duta Besar atau Duta biasanya diberitahukan Kepala Negara tempat orang itu diakreditasikan dalam bentuk surat-surat resmi tertentu, dengan mana perutusan itu diperlengkapi, yang dikenal sebagai Surat-surat Kepercayaan ( Letters of Credence ) atau Lettre de Creaence; surat-surat ini adalah untuk remisi kepada negara penerima. Selain Surat-surat Kepercayaan perutusan tersebut dapat pula membawa serta dokumen-dokumen Kuasa Penuh yang berkaitan dengan negoisasi-negoisasi tertentu atau instruksi-instruksi tertulis khusus lainnya.
Negara-negara dapat menolak untuk menerima perutusan-perutusan diplomatik :
a)      Secara umum, atau berkaitan dengan suatu misi negoisasi khusus ; atau
b)      Karena perutusan khusus secara pribadi tidak dapat diterima.
Dalam kasus disebut terakhir itu negara yang mengajukan penolakan atas perutusan itu tidak diharuskan untuk mendasarkan penolakannya pada akreditasi atau tidak harus mencari dasar alasannya (lihat Pasal 4 ayat 2 Konvensi Wina). Sebagai akibatnya, untuk menghindarkan timbulnya konflik, suatu negara yang hendak mengangkat seseorang sebagai perutusannya sebelumnya harus memastikan bahwa orang yang bersangkutan adalah persona grata. Jika persetujuan atau perjanjian kepastian demikian telah diperoleh, maka negara yang mengangkat perutusan telah aman melakukan pengangkatan resmi perutusannya. Walaupun demikian, pada suatu waktu kemudian, negara penerima perutusan tanpa harus menjelaskan keputusannya, dapat memberitahu kepada negara pengirim bahwa perutusannya itu persona non grata, dalam kasus ini orang ini harus dipanggil pulang, atau tugasnya diakhiri (Pasal 9 Konvensi Wina).[17]

G.    Berakhirnya Misi Diplomatik
Sebuah misi diplomatik dapat berakhir dengan cara yang berbeda-beda, antara lain :
1        Penarikan kembali ( recall ) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya. Surat penarikan kembali biasanya disampaikan kepada Kepala Negara atau Menteri Luar Negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang bersangkutan akan menerima Lettre de Recreance yang memberitahukan penarikannya. Dalam keadaan-keadaan tertentu, penarikan kembali seorang perutusan, misalnya seorang pemimpin misi, dapat menimbulkan akibat buruk; misalnya, apabila penarikan kembali itu dimaksudkan untuk memperingatkan negara penerima tentang ketidakpuasan negara pengirim terhadap hubungan timbal-balik mereka. Langkah demikian itu hanya dilakukan apabila suhu ketegangan antara kedua negara itu tidak dapat diselesikan dengan cara-cara lain.
2        Pemberitahuan oleh negara pengirim kepada negara penerima bahwa tugas perutusan itu telah berakhir (Pasal 43 Konvensi Wina)    
3        Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled). Negara tuan rumah tidak perlu meberikan penjelasan mengenai permintaan tersebut (Pasal 8 Konvensi Wina)
4        Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara pengirim dan negara penerima
5        Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan itu dinyatakan persona non grata dan apabila dia tidak ditarik kembali atau tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak mengakuinya lagi sebagai anggota misi (Pasal 9 dan 43 Konvensi Wina)
6        Tujuan misi tersebut telah terpenuhi
7        Berakhirnya masa berlaku Surat-surat Kepercayaan yang diberikan hanya untuk waktu terbatas.[18]
            Jadi setelah berakhirnya masa tugas pejabat dipomatik tersebut tidak akan bisa menikmati hak kekebalan dan hak istimewa sebagaimana yang diberikan oleh Konvensi Wina 1961 dan setelah itu pejabat diplomatik tersebut dianggap sebagai orang awam biasa yang tidak memiliki hak istimewa dan hak kekebalan seperti pada saat dia masih menjalankan misinya di negara penerima.


H.    Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik
Kekebalan dan Keistimewaan Perwakilan Diplomatik dimana Para diplomat, stafnya, bahkan gedung misi mempunyai kekebalan dan keistimewaan yang dipraktekkan sesuai dengan Konvensi Wina 1961. Pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu berpedoman kepada asas "Par in parem imperium non habet" (suatu negara berdaulat tidak boleh menerapkan yurisdiksinya atas negara berdaulat lain).
Pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik merupakan aspek yang sangat penting untuk menjamin kelancaran pelaksanaan tugas-tugas dan pelaksaan fungsi para pejabat diplomatik secara efisien dari negara yang diwakilinya.
1)      Kekebalan Perwakilan Diplomatik (immunity) bersifat involability (tidak dapat diganggu gugat) antara lain mencakup :
a)      Pribadi Pejabat Diplomatik, yaitu mencakup kekebalan terhadap alat kekuasaan negara penerima, hak mendapat perlindungan terhadap gangguan dari serangan atas kebebasan dan kehormatannya, dan kekebalan dari kewajiban menjadi saksi.
b)      Kantor perwakilan (rumah kediaman), yaitu mencakup kekebalan gedung kedutaan, halaman, rumah kediaman yang ditandai dengan lambang bendera atau daerah ekstrateritorial. Bila ada penjahat atau pencari suaka politik masuk ke dalam kedutaan, maka ia dapat diserahkan atas permintaan pemerintah karena para diplomat tidak memiliki hak asylum, hak untuk memberi kesempatan kepada suatu negara untuk memberi kesempatan kepada warga negara asing untuk melarikan diri.
c)      Korespodensi diplomatik, kekebalan yang mencakup dokumen, arsip, surat menyurat, termasuk kantor diplomatik dan sebagainya kebal dari pemeriksaan,atau
                                     I.      Hak Immunitas.
Hak immunitas adalah hak yang menyangkut diri pribadi seorang diplomat serta gedung perwakilannya.dengan hak ini para diplomat mendapat hak istimewa atas keselamatan pribadi serta harta bendanya, mereka juga tidak tunduk kepada yuridiksi di dalam negara tempat mereka bertugas baik dalam perkara perdata maupun pidana.
                                  II.      Hak Ekstrateritorial.
Hak ekstrateritorial adalah hak kebebasan diplomat terhadap daerah perwakilannya termasuk halaman bangunan serta perlengkapannya seperti bendera,lambang negara,surat surat dan dokumen bebas sensor,dalam hal ini polisi dan aparat keamanan tidak boleh masuk tanpa ada ijin pihak perwakilan yang bersangkutan.[19]
            Hukum Nasional kita juga mengatur tentang hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap gangguan, serangan atas kebebasan dan kehormatan diri pejabat diplomatik sebagaimana di Indonesia yang telah menjamin dan mengatur dalam Pasal 143 dan 144 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Pasal 143 KUHP menyebutkan:
“Penghinaan dengan sengaja terhadap wakil negara asing di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Pasal 144 KUHP menyebutkan:
1.      Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja yang memerintah, atau kepala negara sahabat, atau wakil negara asing di Indonesia dalam pangkatnya, dengan maksud supaya penghinaan itu diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2.      Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang tetap karena kejahatan semacam itu juga, ia dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

2)      Keistimewaan Perwakilan Diplomatik
Keistimewaan Perwakilan Diplomatik sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961 dan 1963 mencakup :
a)      Pembebasan dari kewajiban membayar pajak, yaitu antara lain pajak penghasilan, kekayaan, kendaraan bermotor, radio, televisi, bumi dan bangunan, rumah tangga, dan sebagainya.
b)      Pembebasan dari kewajiban pabean, yaitu antara lain bea masuk, bea keluar, bea cukai terhadap barang-barang keperluan dinas, misi perwakilan, barang keperluan sendiri, keperluan rumah tangga, dan sebagainya.[20]
I.       Dasar Pemberian Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik
Dasar pemberian hak Istimewa dan kekebalan diplomatik itu ada 3 (tiga) teori dalam hukum internasional mengapa diberikannya hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik kepada pejabat-pejabat diplomatik, antara lain:
1)      Teori Exterritoriality (Teori Eksteritorialitas).
Menurut teori ini seorang wakil diplomatik karena dianggap tidak berada di wilayah negara penerima, tapi berada di wilayah negara pengirim, meskipun pada kenyataannya berada di wilayah negara penerima. Oleh karena itu, ia tidak tunduk pada hukum negara penerima, tidak dapat dikuasai oleh hukum negara penerima, dan tidak takluk pada segala peraturan negara penerima. Menurut teori ini, seorang pejabat diplomatik tersebut adalah dikuasai oleh hukum dari negara pengirim Teori exterritoriality ini dianggap tidak sesuai dengan praktik kebiasaan pemberian hak istimewa dan kekebalan diplomatik dalam pergaulan antar negara, sehingga teori Exterritoriality dalam bentuk asalnya ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
2)      Teori Diplomat Sebagai Wakil Negara Berdaulat atau Wakil Kepala Negara (Representative Character)
Menurut teori ini hak-hak kekebalan dan istimewa yang didapatkan oleh perwakilan diplomatik suatu negara yaitu karena ia mewakilli negaranya atau kepala negaranya di luar negeri. Sir Gerald Fitzmaurice mengatakan bahwa, seorang wakil diplomatik sebagai wakil negara berdaulat, memperlihatkan ketidaksetiaan kepada negara tempat ia diakreditir dan dengan demikian ia tidak tunduk kepada hukum dan jurisdiksi negara penerima.
3)      Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity)
Menurut teori ini dasar pemberian hak-hak kekebalan dan istimewa kepada perwakilan diplomatik adalah karena seorang perwakilan diplomatik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan tugasnya dengan sempurna, dan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi secara buruk haruslah dicegah. Teori kebutuhan fungsional ini merupakan dasar hukum yang paling banyak dianut dalam pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik.[21]
Dalam Konvensi Wina 1961 kekebalan dan keistimewaan bagi perwakilan asing di suatu negara pada hakikatnya dapat digolongkan dalam 3 kategori :
Pertama, kekebalan tersebut meliputi tidak diganggu-gugatnya para diplomat termasuk tempat tinggal serta miliknya seperti yang tercantum di dalam pasal-pasal 29, 30, dan 41, serta kekebalan mereka dari yurisdiksi baik administrasi, perdata maupun pidana ( pasal 31)
Kedua, keistimewaan atau kelonggaran yang diberikan pada para diplomat yaitu dibebaskannya kewajiban mereka untuk membayar pajak, bea cukai, jaminan social dan perorangan (pasal-pasal 33, 34, 35 dan 36)
Ketiga, kekebalan dan keistimewaan yang diberikan pada perwakilan diplomatik bukan saja menyangkut tidak diganggu –gugatnya gedung perwakilan asing di suatu negara termasuk arsip dan kebebasa berkomunikasi, tetapi juga pembebasan dari segala perpajakan dari negara penerima ( pasal 22,23, 24, 26 dan 27).
Tidak diganggu –gugatnya gedung perwakilan asing sesuatu negara pada hakikatnya menyangkut 2 aspek :
Aspek pertama adalah mengenai kewajiban negara penerima untuk memberikan perlindungan sepenuhnya sebagai perwakilan asing di negara tersebut dari setiap gangguan. Bahkan bila terjadi hal yang luar biasa seperti konflik bersenjata antara negara penerima dan pengirim atau putusnya hubungan diplomatik, kewajiban negara penerima untuk melindungi gedung perwakilan berikut harta milik dan arsip-arasip tetap harus dilakukan.
Aspek kedua adalah kedudukan perwakilan asing itu sendiri yang dinyatakan kebal dari pemeriksaan termasuk barang-barang miliknya dan semua arsip yang ada di dalamnya.
Jadi gedung diplomatik itu tidak dapat diganggu-gugat oleh alat-alat negara dari negara penerima, dimana tidak boleh dilakukan penggeledahan ataupun pemeriksaan oleh pemerintah setempat terhadap gedung diplomatik tersebut termasuk isi yang ada di dalamnya, dan justru pemerintah dari negara penerima harus melindungi gedung diplomatik tersebut dari gangguan dalam bentuk apapun yang dapat menghambat kinerjapejabat diplomat yang bersangkutan.Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan gedung-gedung perwakilan beserta arsip-arsip, kita jumpai pada pasal 22, 24 dan 30.
Didalam konvensi wina 1961 , secara jelas memberikan batasan bahwa gedung perwakilan merupakan gedung-gedung dan bagian-bagiannya dan tanah tempat gedung itu didirikan, tanpa memperhatikan siapa pemiliknya yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut termasuk rumah kediaman kepala perwakilan asing.
Sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 khususnya mengenai tidak diganggu-gugatnya perwakilan asing di suatu negara telah dinyatakan sebagai berikut :
PASAL 22
1.      Gedung- gedung perwakilan asing tidak boleh diganggu-gugat. Alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung tersebut, kecuali dengan izin dari kepala perwakilan
2.      Negara penerima  mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah-langkah seperlunya guna melindungi gedung perwakilan tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan atau yang menurunkan harkat martabatnya
3.      Gedung-gedung perwakilan, perabotannya dan harta milik lainnya yang berada di dalam gedung tersebut serta kendaraan dari perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan.

Pasal 22 ayat 1 dan 3, pada hakikatnya menyangkut kekebalan di dalam gedung perwakilan itu sendiri, termasuk perabotan, harta milik lainnya dan kendaraan-kendaraan perwakilan. Sedangkan ayat 2 adalah berkenaan dengan kewajiban negara setempat guna melindungi gedung perwakilan beserta isi di dalamnya yang tersebut dalam ayat 1 dan 3. Namun tidak kurang pentingnya makna di dalam ayat 2 tersebut adalah “ … pencegahan adanya setiap gangguan ketenangan perwakilan atau gangguan yang dapat menurunkan harakat dan martabat perwakilan asing di suatu negara”. Makna lain dari ayat 2 tersebut dapat diartikan menyangkut kekebalan di lingkungan gedung perwakilan itu sendiri. Karena itu perlindungan dari negara penerima yang diberikan itu bukan saja dilakukan di dalam gedung perwakilan (Interna ratione) tetapi juga di luarnya ataupun lingkungan sekitarnya (externa ratione).[22]
Jadi kesimpulannya gedung diplomatik mendapatkan kekebalan yang mencakup antara lain gedung tersebut tidak dapat dimasuki oleh siapapun termasuk alat kekuasaan dari negara penerima tanpa seizin kepala perwakilan gedung tersebut, kemudian gedung diplomatik tersebut berhak mendapt perlindungan dan pencegahan dari segala aspek baik kerusakan atau gangguan yang bisa mengganggu dan mebahayakan keselamatan maupun harkat marabat pejabat diplomatik dalam menjalankan misinya di negara penerima, dan yang terakhir adalah barang-barang yang ada di dalam gedung diplomat tersebut yang berkaitan atau menunjang pejabat diplomat dalam menjalankan misinya di negara penerima.

J.      Tanggung Jawab Internasional
Hukum Internasional untuk mengatur segala hubungan internasional demi berlangsungnya kehidupan internasional yang terlepas dari segala bentuk tindakan yang merugikan negara lain. Oleh sebab itu negara yang melakukan tindakan yang dapat merugikan negara lain atau dalam artian melanggar kesepakatan bersama akan dikenai implikasi hukum, jadi sebuah negara harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya.Pengertian tanggung jawab internasional adalah peraturan hukum dimana hukum internasional mewajibkan kepada person hukum internasional pelaku tindakan yang melanggar kewajiban-kewajiban internasional yang menyebabkan kerugian pada person hukum internasional lainnya untuk melakukan kompensasi.
Suatu negara dapat dimintai pertanggung jawabannya secara internasional bila telah memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Negara tersebut telah benar-benar melakukan tindakan yang merugikan, tindak positif ataupun negatif.
2.      Tindakan yang merugikan ini timbul dari person hukum internasional yang meliputi negara dan organisasi internasional.
3.      Yang terakhir yaitu tindakan yang merugikan itu sendiri, bila tidak ada kerugian yang timbul dari person hukum internasional pertanggungjawaban internasional tidak dapat di terapkan. Tindakan yang merugikan ini dapat timbul dari perangkat badan internasional itu sendiri, yaitu badan legislatif, eksekutif dan pula yudikatif.[23]
Karena pejabat diplomatik merupakan perwakilan dari negara pengirim atau biasanya dalam kata asing disebut representative character dari negara pengirim sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh pejabat diplomatik yang sedang menjalankan misinya di negara penerima dapat dikenai tanggung jawab internasional oleh negara penerima.
      Dari penjelasan di atas, timbul suatu masalah apakah gedung diplomatik tidak dapat diganggu-gugat dengan mutlak dan tidak dapat dimasuki oleh alat-alat kekuasaan dari negara penerima meski dengan alasan keamanan, kedamaian dan kedaulatan dari negara penerima, selain itu upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh negara penerima terhadap pejabat diplomatik yang menyalahgunakan fungsi dan tujuan gedung diplomatik tidak sebagaimana mestinya.











BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Pendekatan Penelitian
Dilihat dari jenis permasalahan dalam penelitian ini, yaitu untuk menganalisis tinjauan yuridis terhadap kekebalan gedung diplomatik,beserta hubungannya dengan kedaulatan negara dan yurisdiksi nasional, maka jenis penelitian ini adalah jenis penelitian Yuridis Normatif[24], yaitu Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau disebut dengan Penelitian Hukum Kepustakaan.
B.     Bahan Hukum
Untuk melengkapi isi penulisan laporan penelitian ini maka penulis memerlukan bahan-bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun bahan-bahan hukum tersebut, yaitu:
1.      Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan didapatkan langsung dari sumbernya, meliputi:
a)      Konvensi Wina 1961
b)      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c)      artikel-artikel yang terkait dengan kasus pelanggaran dan penyalahgunaan terhadap kekebalan gedung diplomatik
2.      Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat menjelaskan analisis bahan hukum primer, meliputi:
a)      hukum diplomatik internasional
b)      prinsip-prinsip hukum internasional
c)      pendapat para ahli hukum
d)     buku-buku terkait dengan hukum diplomatik internasional terutama yang terkai dengan kekebalan gedung diplomatik
3.      Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan tehadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder berupa:
a)      Black’s Law Dictionary
b)      Glossarium of International Law
c)      Kamus Besar Bahasa Indonesia

C.    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif. Bahan hukum yang ada diperoleh penulis dengan cara  library research (studi kepustakaan) dan studi dokumentasi, yaitu pengumpulan bahan dengan melakukan penelitian di perpustakaan terhadap sejumlah literatur, dokumen, pendapat pakar, serta artikel yang dipergunakan untuk memperjelas konsep-konsep hukum.

D.    Teknik Analisa Bahan Hukum
Dalam menganalisis bahan hukum, peneliti menggunakan teknik deskriptif kualitatif, yaitu dengan cara menggambarkan informasi yang diperoleh, untuk kemudian informasi tersebut dipelajari dan dianalisa guna mendapatkan suatu pembelajaran yang komprehensif dan menyeluruh tentang tinjauan yuridis terhadap kekebalan gedung diplomatik.

E.     Definisi Konseptual
a)      Diplomat adalah orang yang berkecimpung di bidang diplomasi (Menteri Luar Negeri, Duta Besar dsb).[25]
b)      Diplomatik adalah berkenaan dengan hubungan resmi antar negara pengirim dan  negara penerima.[26]
c)      Hukum diplomatik adalah ketentuan atau prisip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplimatik antarnegara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan.[27]
d)     Pendobrakan adalah proses, cara, perbuatan mendobrak.[28]
e)      Penerobosan adalah proses, cara, perbuatan menerobos; penembusan; pematahan (kepungan dsb).[29]
f)       Pemaksaan adalah proses, cara, perbuatan memaksa.[30]
g)      Gedung adalah 1 bangunan tembok dsb yang berukuran besar sebagai tempat         kegiatan, seperti perkantoran, pertemuan, perniagaan, pertunjukan, olahraga, dsb; 2 rumah tembok yang berukuran besar;.[31]
h)      Accreditation adalah akreditasi. Wilayah negara penerima yang merupakan jurisdiksi diplomatik bagi perwakilan diplomatik sesuatu negara            pengirim yang ditetapkan menurut prinsisp-prinsip hukum diplomatik yang telah disetujui masyarakat internasional.[32]
i)        Ambassador atau Duta Besar, biasanya yang dimaksud adalah duta besar luar        biasa dan berkuasa penuh yang diangkat oleh kepala negara/pemerintahan di sesuatu negara dan merupakan seorang kepala perwakilan diplomatik.[33]
j)        Attaché adalah pangkat diplomatik terendah dalam struktur kepangkatan Dinas      Diplomatik.[34]
k)      Charge d’affaires adalah kuasa usaha sementara. Jika kepala perwakilan di perwakilan diplomatik kosong atau tidak dapat menjalankan tugasnya, kuasa usaha akan bertindak sementara sebagai kepala perwakilan.[35]
l)        Counselor, Councelor adalah pangkat atau gelar diplomatik sesudah sekretaris I dan sebelum Minister Counsellor.[36]
m)    Tanggung Jawab Internasional adalah beban tanggung jawab yang diberikan atau dibebankan kepada person hukum internasional dimana karena tindakannya dianggap telah merugikan Negara lain atau melanggar kesepakatan bersama dan dikenai implikasi hukum
n)      Inviolability adalah kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan Negara penerima dan kekebalan terhadap semua gangguan yang merugikan diri pribadi diplomat termasuk harkat dan martabatnya serta mendapatkan perlindungan dari aparat Negara yang berkepentingan pejabat diplomatik tersebut.
o)      Immunity adalah kekebalan dari yurisdiksi Negara penerima yang tidak dapat diganggu gugat yang mencakup antara lain pribadi pejabat diplomatik, kantor perwakilan dan rumah kediaman, serta korespodensi diplomatik.






BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN

A.    Penerobosan (Pemaksaan) Masuk Oleh Negara Penerima Ke Dalam Gedung Kedutaan Asing Di Negara Penerima Dengan Alasan Kepentingan Keamanan, Kedamaian Dan Kedaulatan Suatu Negara
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan azas-azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara yaitu, batas antar negara dengan negara dan antar negara dengan subyek hukum lain bukan negara.[37] Dalam pelaksanaannya hukum internasional dipatuhi dan dijalani oleh masyarakat internasional yang cinta damai, dan ingin menjauhi kehidupan yang berisikan kejahatan dalam hal ini khususnya tentang kejahatan internasional khususnya yang berhubungan dengan penyalahgunaan gedung diplomatik oleh pejabat diplomatik yang bersangkutan.
Melalui hukum internasional masyarakat di dalam dunia internasional ingin mencapai kehidupan yang damai dan penuh kesejahteraan, namun rupanya hal tersebut tidak mudah dicapai karena ada pihak-pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan dengan membuat penderitaan pada orang lain (subyek hukum internasional yang lain), dalam hal ini saya mengambil kasus tentang adanya pihak-pihak dari Kedutaan Besar Irak yang mendatangkan senjata illegal untuk para pemberontak di daerah negara penerima yaitu di Pakistan melalui kantong pejabat diplomatik sebagai sarana untuk melumpuhakan kekuatan dan merusak tatanan keamanan, kedamaian dan kedaulatan  suatu negara penerima.
Hukum internasional dalam pelaksanaannya sangat melindungi kepentingan dari setiap negara yang berlindung di dalamnya, oleh sebab itu penyelundupan senjata secara illegal ke dalam suatu negara dan ditujukan untuk memperkuat pemberontak dalam suatu negara dengan tujuan merusak tatanan keamanan, kedamaian dan kedaulatan  suatu negara, maka akan sangat ditentang oleh hukum internasional.
Dalam abad ke-16 dan 17 pada waktu pertukaran Duta-duta Besar secara permanen antarnegara-negara di Eropa, sudah mulai menjadi umum, kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan bahkan telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika seorang Duta Besar telah terlibat dalam komplotan atau penghianatan melawan kedaulatan negara penerima. Seorang Duta Besar dapat diusir, tetapi tidak dapat ditangkap ataupun diadili.[38] Prinsip untuk memberikan kekebalan dan keistimewaan yang khusus semacam itu telah dilakukan oleh negara atas dasar :
1.      Prinsip Resiprositas antarnegara dalam rangka :
                          i.      Mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, tanpa mempertimbangkan system ketatanegaraan dan sistem sosial mereka berbeda
                        ii.      Bukan untuk kepentinagan perseorangan tetapi untuk menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama dalam tugas dari negara yang diwakilinya.
2.      Prinsip Eksteritorialitas dengan alasan :
                          i.      Para diplomat adalah wakil-wakil negara
                        ii.      Mereka tidak dapat menjalankan tugas secara bebas kecuali jika mereka diberikan kekebalan-kekebalan tertentu. Jelaslah bahwa jika mereka tetap bergantung kepada good-will pemerintah, mereka mungkin terpengaruh oleh pertimbangan-pertimbangan keselamatan perseorangan
                      iii.      Jelaslah pula bahwa jika terjadi gangguan pada komunikasi mereka dengan negaranya, tugas mereka tidak dapat berhasil[39]

Selain prinsip di atas, juga ada beberapa teori yang berhubungan dengan kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik dan tidak dapat diganggu-gugatnya tempat kediaman diplomatik, antara lain :
a)      Teori Eksterritoriality
Teori ini mempunyai pandangan bahwa jika seorang pejabat diplomatik dianggap tidak berada di wilayah kedaulatan negara penerima (walaupun secara faktual dia berada di wilayah negara penerima) maka secara yuridis keberadaannya harus dianggap sebagai berada di wilayah pengirim. Hal itu menimbulkan konsekuensi logis bahwa seorang diplomat tidak tunduk kepada hukum negara penerima. Kantor perwakilan dan tempat kediaman pejabat diplomatik menurut teori ini dianggap sebagai wilayah bagian dari negara pengirim. Tempat kediaman atau gedung diploamtik adalah di luar negara penerima sekaligus sebagai perluasan dari wilayah negara pengirim. Dengan kenyataan tersebut pula maka dalam praktik, teori ini justru sulit untuk diterima sehingga dewasa ini teori ekteritorialitas sudah tidak dapat diterapkan lagi secara murni (ekstrem).
b)      Teori Representative Character
Menurut sejarahnya, pada awalnya diplomat adalah wakil raja, jadi kekebalan yang diberikan kepadanya merupakan penghormatan kepada raja yang mengirimnya. Teori Representative Character itu mendasarkan kekebalan diplomatik kepada atasan bahwa seorang diplomat adalah wakil negara atau kepala negara di luar negeri. Dalam kedudukannya sebagai wakil negara, dan wakil kepala negara, maka seorang diplomat segala tindak tanduknya dapat dianggap seolah-olah mewakili atau bahkan merupakan tindakan kepala negara yang mengirimnya. Dalam kenyataan seoerti itu, kekbalan dan keistimewaan harus diberikan kepada seorang diplomat. Lebih jauh dapat dikemukakan bahwa karena statusnya sebagai wakil kepala negara maka penghinaan terhadap seorang duta besar dapat dianggap mencemarkan kehormatan kepala negara yang mengirimnya.
c)      Teori Kebutuhan Fungsional
Teori ini ternyata paling banyak diterima oleh masyarakat hukum internasional. Menurut teori ini, seorang wakil diplomatik harus mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengemban tugasnya dengan baik dan terhindar dari segala hambatan yang dapat menghalangi tugasnya itu. Kenyataan dan alasan tersebut kemudian dijadikan dasar bagi kekebalan dan keistimewaan seorang wakil diplomatik.[40]

Dalam Konvensi Wina tahun 1961 tentang hubungan diplomatik menganut  ketiga teori di atas antara lain teori kebutuhan fungsional, teori Representative Character, dan teori eksteritorialitas.[41]
Mengenai pengaturan hukum internasional terhadap adanya penyalahgunaan fungsi gedung diplomatik yang dilakukan oleh pejabat diplomatik itu diatur dalm konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatik.
Pada dasarnya pengaturan suatu fenomena dari adanya masalah-masalah di dalam kehidupan dunia internasional berpijak pada peraturan-peraturan yang ada dalam hukum internasional yang ada dan berlaku. Ruang lingkup system peraturan-peraturan di dalam hukum internasional secara garis besar telah tertuang dalam suatau bentuk undang-undang hukum internasional yang dihasilkan dari konvensi-konvensi mengenai masalah seputar kehidupan antar negara-negara di dunia dalam kaitannya pada hubungan internasional multilateral. Dan dalam hal ini, masalah penyalahgunaan fungsi gedung diplomatik oleh para pejabat diplomatik telah menjadi masalah seluruh negara di dunia.
Berdasrkan pada hal tersebut di atas, maka dalam masalah adanya penyalahgunaan hak kekebalan dan hak istimewa yang dilakukan oleh pejabat diplomatik dengan cara melakukan  atau memanfaatkan kekebalan dan keistimewaannya untuk melakukan sebuah tindakan yang bisa merugikan di negara penerima, maka hal tersebut akan membawa pengaruh terhadap hubungan antar negara yang mengadakan hubungan diplomatik tersebut.
Hubungan yang terjadi antar negara baik itu hubungan bilateral ataupun multilateral menimbulkan suatu kebiasaan internasional, dan hal ini yang menjadikan terjalinnya suatu hubungan yang secara umum adalah baik, selama hubungan tersebut membawa kebaikan bagi pihak-pihak yang mengadakan hubungan-hubungan tersebut. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah bagaimana jika hubungan baik tersebut ternodai dengan adanya suatu penyelewengan atau penyalahgunaan hak kekebalan dan hak istimewa dalam hal yang dapat menimbulkan kerugian di negara penerima yang dilakukan oleh pejabat dipomatik yang notabenya adalah representative suatu kepala negara pengirim di negara penerima dan sedang menjalakan misi diplomatiknya di negara penerima, maka hal tersebut akan mempengaruhi hubungan bilateral kedua negara khususnya dalam hubungan diplomatik yang akan menjadi renggang kemudian bisa menjadi suatu permusuhan antar kedua negara sehingga titik puncaknya terjadi pemutusan hubungan diplomatik antar kedua negara.
Seperti kita ketahui bahwa hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik secara universal telah diakui dan hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik itu bersumber dari adanya kebiasaan internasional. Berdasarkan hal tersebut, maka pribadi seorang pejabat diplomatik yang melakukan sebuah tindakan pemanfaatan gedung diplomatik yang dianggap tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya dan dapat merugikan di negara penerima pastinya akan membawa pengaruh yang sangat buruk pada diri pribadi pejabat diplomatik dan akan membawa pengaruh yang kompleks terhadap hubungan kedua negara tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa; dalam lingkup bilateral retaknya hubungan antara negara, secara multilateral menimbulkan adanya suatu konflik internasional (pro dan kontra) antara negara-negara yang terlibat dan akan menimbulkan suatu kebiasaan baru dalam pemberlakuan hukum internasional mengenai hubungan diplomatik khususnya di dalam yang ada kaitannya dengan masalah penyalahgunaan fungsi gedung diplomatik di negara penerima.
Dalam hukum internasional telah terbentuk hukum yang didasari dari kebiasaan internasional antara lain mengenai hukum diplomatik internasional yang berhubungan dengan masalah hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik. Dalam praktek hubungan diplomatik antar negara sering muncul konflik-konflik salah satunya mengenai penyalahgunaan hak kekebalan dan hak istimewa yang dimiliki oleh pejabat diplomatik yang ditugaskan di negara penerima. Seperti contoh dari salah satu kasus Kedutaan Besar Irak di Islamabad yaitu;
              i.      Kasus tersebut terjadi di dalam bulan Februari 1973. Kejadian ini bermula ketika sebuah peti kemas yang dialamatkan keapada Kedutaan Besar Irak di Islamabad secara tidak sengaja mengalami kerusakan sehingga terungkap oleh pejabat bea cukai Pakistan bahwa sebenarnya peti kemas tersebut berisi senjata yang jumlahnya cukup banyak. Atas terjadinya peristiwa tersebut Kementerian Luar Negeri Pakistan meminta kepada Duta Besar Irak untuk mengizinkan polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak di Islamabad. Permintaan tersebut ditolak oleh Duta Besar Irak, kemudian polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak dengan paksa, dan ternyata benar telah menemukan 59 peti yang berisi senjata, bahan peledak dan amunisi yang harus diserahkan kepada pemberontak Belouchistan.[42]
Akibat terhadap negara-negara yang bersangkutan (dalam hal ini negara Irak sebagai negara pengirim dan Pakistan sebagai negara penerima) adalah :
a.       Bagi negara yang tersangkut dalam hal penyelundupan senjata secara ilegal akan sulit membuka hubungan dengan negara lain
b.      Negara tersebut akan mendapat pengawasan yang ketat dari badan dunia yang mengawasi jalannya perputaran atau distribusi senjata-senjat yang dianggap ilegal di negara tersebut
c.       Masa depan bangsa dan negara tersebut akan terancam, karena akibat dari penyelundupan senjata illegal tersebut akan dapat sangat merusak berbagai bidang kehidupan suatu negara khususnya negara penerima.
Dalam pasal 36 (1) Konvensi Wina 1961 jelas dinyatakan walaupun negara penerima sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangannya yang ada mengizinkan baik misi perwakilan diplomatik maupun para staf beserta keluarganya yang tinggal bersama untuk mengimport barang-barang dengan dibebaskan dari bea masuk serta pajak-pajak lainnya, namun secara jelas telah diberikan pembatasan-pembatasan seperti:
             I.      Barang-barang untuk keperluan resmi perwakilan
          II.      Barang-barang untuk keperluan pribadi seorang pejabat diplomatik dan anggota-anggota keluarganya yang merupakan bagian dari rumah tangganya termasuk barang-barang yang dimaksudkan untuk kedudukannya.
Dalam kasus tersebut, pemerintah Irak tidak bisa dengan begitu saja atau sekehendak hati untuk memasukkan barang-barang yang bukan termasuk dalam ketentuan Pasal 36 (1) (a) (b) Konvensi Wina 1961 tersebut. Karena sudah jelas bahwa senjata illegal tersebut yang ditemukan pada peti kemas yang dialamatkan kepada Kedutaan Besar Irak di Islamabad melalui kantong diplomatik, hal ini telah menyalahi aturan dalan konvensu wina dan khususnya tidak sesuai dengan pasal 36 Konvensi Wina 1961.
 Pada perkembangannya para sarjana mengkombinasikan antara teori eksteritorialitas, teori representative character, dan teori kebutuhan fungsional maka dengan sewajarnya dapat kita simpulkan bahwa seorang wakil diplomatik merupakan seorang Kepala Negara yang harus mendapat perlindumgan dan kerahasiaan barang-barang negara pengirim dan ketenangan seorang pejabat diplomatik dalam menjalankan tugas atau misinya itu. Oleh karena itu, sewajarnya tempat kediaman atau tempat tinggal dan kantor perwakilan diploamtiknya juga mempunyai hak kekebalan dari yurisdiksi pidana, perdata maupun administratif dari negara penerima, sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh negara penerima. Mengenai hak kekebalan gedung, tempat kediaman diplomat, arsip-arsip, dan korespondensi ini juga diatur dalam Konvensi Wina 1961 pasal 22, 24 dan 30 sebagai berikut:
Article 22
1.      The premises of the mission shall be inviolable. The agents of the receiving State may not enter them, except with the consent of the head of the mission.
2.       The receiving State is under a special duty to take all appropriate steps to protect thepremises of the mission against any intrusion or damage and to prevent any disturbance ofthe peace of the mission or impairment of its dignity.
3.      The premises of the mission, their furnishings and other property thereon and the means of transport of the mission shall be immune from search, requisition, attachment or execution.
Article 24
The archives and documents of the mission shall be inviolable at any time and wherever they may be.
Article 30
1.      The private residence of a diplomatik agent shall enjoy the same inviolability and protection as the premises of the mission.
2.      His papers, correspondence and, except as provided in paragraph 3 of Article 31, his property, shall likewise enjoy inviolability.

Jadi semua peralatan dan barang-barang yang ada baik di tempat tinggal pejabat diplomatik maupun di gedung perwakilan diplomatik menjadi kebal terhadap segala pemeriksaan, penyidikan, termasuk juga penyitaan dan eksekusi oleh pengadilan dari negara penerima. Namun dalam Konvensi Wina 1961 khususnya pasal 41 menyatakan sebagai berikut;
Article 41
1.      Without prejudice to their privileges and immunities, it is the duty of all persons enjoying such privileges and immunities to respect the laws and regulations of the receiving State. They also have a duty not to interfere in the internal affairs of that State.
2.       All official business with the receiving State entrusted to the mission by the sending Stateshall be conducted with or through the Ministry for Foreign Affairs of the receiving State orsuch other ministry as may be agreed.
3.      The premises of the mission must not be used in any manner incompatible with the functionsof the mission as laid down in the present Convention or by other rules of generalinternational law or by any special agreements in force between the sending and thereceiving State.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa gedung perwakilan asing tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan tugas-tugas diplomatik. Dimana hal tersebut dengan jelas disebutkan dalam Konvensi Wina 1961 khususnya pasal 41 ayat 3 dimana gedung diplomatik tidak boleh digunakan oleh para diplomat dalam perihal yang tidak ada kaitannya atau yang tidak ada hubungannya dengan fungsi misi dari para diplomat di negara penerima.
Permasalahannya adalah bagaimana cara perangkat dari negara penerima untuk bisa masuk ke dalam gedung diplomatik yang disinyalir telah disalahgunakan fungsinya oleh pejabat diplomatik yang bersangkutan yang dapat dikatakan akan menggangu keamanan, kedamaian dan kedaulatan suatu negara penerima, karena untuk bisa masuk ke dalam gedung diplomatik tersebut negara penerima harus meminta izin kepada pejabat diplomatik yang berada di dalam gedung tersebut (bersangkutan). Hal ini sangat sulit bagi perangkat dari negara penerima untuk mendapatkan izin masuk ke dalam gedung diplomatik agar dapat membuktikan bahwa benar adanya penyalahgunaan gedung diplomatik tersebut. Maka dalam hal ini alternative penyelesaiannya adalah negara penerima dapat menerobos atau memaksa masuk ke gedung kedutaan besar negara pengirim tersebut yang disinyalir atau diindikasi kuat telah menyalahgunakan gedung perwakilan tersebut tidak sesuai fungsinya sehingga dapat membahayakan kedaulatan, keamanan dan kedamaian dari negara penerima dengan dasar melakukan beberapa tindakan. Pertama, Pemerintah negara penerima dapat masuk secara paksa ke dalam kantor Kedutaan negara pengirm. Hal ini dapat dibenarkan secara hukum internasional, karena apabila terjadi dakwaan atau adanya bukti-bukti yang memperkuat bahwa fungsi perwakilan asing tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961, maka pemerintah negara penerima dapat memasuki gedung tersebut dan disaksikan oleh Duta Besar dari negara pengirim. Oleh karena itu dinyatakan oleh Brierly bahwa dalam hal-hal yang luar biasa, meskipun tidak dinyatakan dalam konvensinya sendiri. Kedua, prinsip tidak diganggu gugat itu menurut pendapat Komisi Hukum Internasional tidak menutup adanya kemungkinan bagi negara penerima untuk mengambil tindakan terhadap diplomat atau perwakilan asing di negara tersebut dalam rangka bela diri atau menghindarkan adanya tindak pidana.[43]
Jadi pada dasarnya negara penerima dapat memasuki gedung diplomatik yang tidak menjalankan fungsinya sesuai dengan sebagaimana yang sudah diatur dalam Konvensi Wina 1961 khususnya pasal 41 ayat 3 selain itu negara penerima dapat memasuki secara paksa gedung diplomatik yang disinyalir atau diduga kuat digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan suatu tindak pidana dengan dasar hak bela diri dari suatu negara penerima untuk menghindarkan adanya tindak pidana di negara penerima.

B.     Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Negara Penerima Terhadap Pejabat Diplomat Yang Tidak Menjalankan Fungsi Dan Tujuan Gedung Diplomat Sebagaimana Mestinya
Adanya pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan bagi para pejabat diplomatik pada hakikatnya merupakan hasil sejarah diplomasi yang sudah lama sekali, dimana pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan internasional. Hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang diberikan kepada pejabat diplomatik suatu negara adalah untuk memperlancar atau memudahkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik, hak istimewa dan kekebalan tersebut biasanya disebut:

a)      Inviolability
Diperuntukkan kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap semua gangguan yang merugikan serta mendapatkan perlindungan dari aparat negara yang berkepentingan.
b)      Immunity
Kekebalan dari yurisdiksi negara penerima.

Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik diatur secara tegas dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa:
“The person of a diplomatik agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrestor detention. The receiving State shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.”
Adapun maksudnya adalah, agen diplomatik tidak dapat diganggu-gugat. Dia tidak akan bertanggung jawab kepada setiap bentuk penangkapan dan penahanan. Negara penerima akan memperlakuannya dengan hormat dan akan mengambil semua langkah yang tepat apapun serangan terhadap dirinya, kebebasan atau martabat.
Akibat terhadap hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik, maka seorang diplomat yang sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang wakil yang sah, memiliki hak kekebalan dan hak istimewa dari negara penerima. Tetapi apabila hak kekebakan dan halk istimewa dari negara penerima diselewengkan penggunaannya untuk hal-hal yang merugikan negara penerima, maka tidak mungkin tidak akan terjadi pembatasn dalam pemberian hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik tersebut. Selain itu juga bisa berakibat dengan adanya pengusiran terhadap pejabat diplomatik tersebut, jadi secara garis besar akibatnya terhadap hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik ialah :
1)      Pembatasan pemberian hak kekebalan danhak istimewa diplomatik
2)      Pengusiran terhadap pejabat diplomatik
3)      Pencabutan hak kekebalan dan hak istimewa dipomatik.[44]
Di dalam peraturan hukum internasional dalam bidang masalah hubungan diplomatik pada bahasan mengenai hak kekbalan dan hak istimewa, telah diatur menangani pemberian hak-hak tersebut. Melihat dari kasus di atas pada hakikatnya kekebalan diplomatik mencakup juga kekebalan dari jurisdiksi pidana maupun perdata dan berbagai administrative (perpajakan, termasuk bea pabean).
Mengenai kekebalan terhadap jurisdiksi pengadilan pidana yang dapat dinikmati oleh para pejabat diplomatik ditentukan di dalam konvensi Wina 1961 pasal 31 (1) sebagai berikut :
”Seorang pejabat diplomatik kebal dari jurisdiksi pidana negara penerima”.
Alat-alat kekuasaan negara penerima tidak dapat menangkap, menuntut atau mengadili seorang pejabat diplomtik di dalam suatu perkara criminal (pidana). Hal ini tidak berarti bahwa seorang pejabat diplomatik tidak harus menghormati serta menghargai hukum pidana setempat. Pada kenyataannya para pejabat diplomatik haruslah menghormati Undang-undang dan peraturan-peraturan dari negara penerima. Hal ini tercermin dalam ketentuan konvensi wina 1961 pasal 41 (1) :
Tanpa mengesampingkan hak-hak istimewa dan kekebalan mereka, itu adalah tugas semua orang menikmati hak istimewa dan kekebalan untuk menghormati hukum dan peraturan dari Negara penerima. Mereka juga mempunyai kewajiban untuk tidak ikut campur dalam urusan internal Negara tersebut.”  
Hal di atas sesuai dengan kewajiban seorang pejabat diplomatik yaitu :
a.       mematuhi peraturan-peraturan hukum di negara penerima;
b.      tidak mencampuri urusan dalam negeri negara penerima.

Pribadi pejabat diplomatik memiliki kekebalan dari penerapan yurisdiksi teritorial negara penerima (the receiving state) dalam perkara pidana, administratif maupun perkara perdata. Namun kekebalan seorang pejabat diplomatik dapat dibatalkan, dihapuskan atau ditarik kembali oleh Pemerintah negara pengirim (the sending state) atau Kepala Perwakilan Diplomatik. Kekebalan diplomatik bukan merupakan hak istimewa atau hak prerogatif (praerogative right) dari pejabat diplomatik yang bersangkutan, melainkan sesungguhnya merupakan kekebalan negara pengirim atau kekebalan pemerintahnya sehingga kekebalan tersebut hanya dapat dibatalkan oleh Pemerintah negara pengirim dan tidak mungkin dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat diplomatik yang bersangkutan tanpa persetujuan negara pengirimnya.[45]
Sekarang apabila terjadi suatu Pelanggaran oleh pejabat diplomatik terhadap peraturan-peraturan hukum setempat dengan memanfaatkan kekebalan yang dimiliki pribadi diplomat yang bersangkutan, dengan melakukan tindak pidana berat ataupun mengganggu ketertiban serta membahayakan keamanan negara penerima, seorang pejabat diploamtik tersebut tetap dibebaskan dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial atau kekuasaan hukum negara penerima.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat diplomatik, staf diplomatik dan anggota lainnya yang menikmati fasilitas tersebut tentunya akan menimbulkan kerugian terhadap negara penerima. Oleh karena itu di sini akan berlaku ketentuan kewajiban yang diatur dari traktat atau perjanjian tersebut dan pertanggungjawaban negara yang menentukan apa konsekuensi hukum bagi pelanggarannya, termasuk kadar sanksi yang dijatuhkan. Beberapa ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 terdapat beberapa pasal yang dapat diterapkan sebagai penyelesaian oleh negara penerima dalam hal menghadapi pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat perwakilan diplomatik tersebut, antara lain:
1.      Persona non Grata, dan penarikan kembali oleh negara pengirim terhadap pejabat diplomatik tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 9 Konvensi Wina 1961.
2.      Penanggalan kekebalan dari kekuasaan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 32 Konvensi Wina.
3.      Recall untuk menjaga hubungan kedua negara.[46]
Deklarasi persona non grata yang dikenakan kepada seorang Duta Besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau berada di negara penerima adalah dengan dilakukannya kegiatan-kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 41 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Perbuatan-perbuatan yang termasuk bertentangan dengan ketentuan pasal 41 tersebut adalah :
1        Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap bersifat politis maupun subversif dan bukan bukan saja dapat merugikan kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima.
2        Kegiatan-kegiatan yang dilakukan tersebut jelas-jelas melanggar peraturan hukum dan peraturan perundang-undangan negara penerima.
3        Kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap mengganggu baik stabilitas maupun keamanan internasional negara penerima.[47]
Pejabat diplomatik yang bersangkutan dapat dikenai pernyataan persona non grata oleh Pemerintah negara penerima walaupun pernyataan persona non grata dapat dilakukan sebelum yang bersangkutan menjalankan tugasnya di negara penerima. Pernyataan Persona non grata merupakan terobosan terhadap kekebalan diplomatik yang dapat dilakukan oleh negara penerima dalam usaha menghormati dan mematuhi azas kekebalan diplomatik yang membebaskan pejabat diplomatik yang bersangkutan dari yurisdiksi teritorial dan sekaligus juga memulihkan serta mempertahankan martabat (dignity) atau kedaulatan negara penerima. Pernyataan persona non grata membawa konsekuensi bahwa orang ybs harus meninggalkan negara penerima dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Pemerintah negara setempat dan dia harus kembali ke negara asalnya, negara penerima. Walaupun kekebalan diplomatik membebaskan pejabat diplomatik dari pelaksanaan kekuasaan hukum setempat (yurisdiksi teritorial negara penerima) ketika terlibat dalam tindak pidana berat, namun setelah dipersona non gratakan oleh negara penerima dan kembali ke negara pengirim, dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) di negara asalnya atau di negara pengirim. Hal ini sesuai dengan pasal 31 konvensi wina ayat 4 yang berbunyi ;
“Kekebalan wakil diplomatik dari pengadilan negara penerima tidak membebaskannya dari pengadilan negara pengirim.”
Negara pengirim wajib menuntut pertanggungjawaban dari pejabat diplomatik yang bersangkutan atas kesalahan yang dilakukannya di negara penerima karena dianggap telah merugikan negara penerima.
Dalam hal ini masih menimbulkan pertanyaan dari negara penerima terhadap hukuman apa yang akan diterapkan oleh negara pengirim terhadap pejabat diplomatik yang bersangkutan, apakah hukuman yang akan diberikan itu sesuai atau sama dengan hukum yang berlaku di negara penerima. Dalam hal ini kita dapat meniru dari kasus Penyelesaian pelanggaran Konvensi Wina yang dilakukan pejabat diplomatik atas perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang-undangan nasional negara penerima pernah dilakukan oleh Pemerintah Inggris pada tanggal 24 Februari 1985. Kasus bermula ketika polisi menangkap seseorang yang memiliki dua kilogram heroin yang di diperoleh dari sebuah rumah di London. Ketika dilakukan penelitian dan pemeriksaan, pemilik rumah tersebut melakukan penyangkalan. Seperempat jam kemudian, penghuni rumah tersebut menuntut hak kekebalannya sebagai Sekretaris III dari Kedutaan Zambia dan minta agar polisi tersebut meninggalkan rumahnya. Pada waktu polisi memeriksa kartu identitas yang dimilikinya dan ternyata benar, kemudian polisi menghentikan pemeriksaan dan pergi. Kedutaan Zambia keesokan harinya mengajukan protes kepada Kementerian Luar Negeri Inggris, dan Kementerian Luar Negeri Inggris pun meminta maaf dan polisi menghentikan pemeriksaan segera setelah orang tersebut ternyata memang menikmati fasilitas kekebalan diplomatik. Namun berdasarkan adanya dakwaan yang kuat bahwa obat-obatan terlarang tersebut datangnya melalui kantong diplomatik, karena itu Kementerian Luar Negeri Inggris menghubungi Duta Besar Zambia dan meminta agar kekebalan Sekretaris III itu ditanggalkan. Duta besar Zambia kemudian melakukan upaya konsultasi dengan Presiden Kaunda yang kemudian dengan cepat dan tanggap memerintahkan penanggalan kekebalan Sekretaris III tersebut yang mengakibatkan tindakan penangkapan kepadanya oleh polisi setempat, dan atas izin yang diberikan oleh Pemerintah Zambia melalui Presiden Kaunda, akhirnya Sekretaris III kedutaan Besar Zambia tersebut diadili di Inggris. Pemerintah Inggris memiliki kewenangan untuk mengadili Sekretaris III kedutaan besar Zambia adalah atas dasar adanya penanggalan kekebalan yang dilakukan melalui keputusan Presiden Kaunda yang disampaikan melalui surat kepada Kementerian Luar Negeri Inggris. Surat tersebut berbunyi:
“Diplomatik Imunity was never intended to prevent investigation of serious crime. I my self have a horror of all addictive drugs. It destroys human beings…I feel I am acting to protect my people and also the people of Britain and indeed of the whole world.When the request for the waiver of immunity reached me. I did not hestitate for a second. It was, I am told, an almost unprecendented action. But in this fight we all must wage againt this teriffiying menace, I am convinced that I am right”
Adapun yang disampaikan Presiden Kaunda adalah, kekebalan diplomatik adalah tidak pernah diperuntukan untuk mencegah penyelidikan dari kejahatan serius. Saya sendiri takut akan semua jenis obat-obatan terlarang. Obat tersebut merusak manusia. Saya pikir, saya harus melindungi rakyat saya dan orang-orang Inggris dan juga semua orang di dunia. Ketika permintaan untuk melepaskan kekebalan diplomatik sampai kepada Saya. Saya tidak ragu sedikit pun. Itu merupakan, perkataan Saya, suatu keputusan yang tidak diperkirakan. Tetapi dalam berjuang melawan ancaman hebat ini, Saya yakin bahwa saya adalah benar.[48]
Dapat diadilinya pejabat diplomatik suatu negara pengirim di negara penerima dapat dilakukan karena faktor dilepaskannya kekebalan diplomatik oleh negara pengirim dan adanya keterangan dari pemerintah negara pengirim yang memperbolehkan hal tersebut. Pernyataan penanggalan kekebalan tersebut harus dilakukan dengan jelas dan meyakinkan kesungguhan dari negara pengirim. Apabila pelanggaran tersebut dilakukan oleh seorang staf perwakilan diplomatik, maka penanggalan kekebalan dapat dilakukan hanya berdasarkan pernyataan dari Duta Besar, karena pada dasarnya Duta Besar adalah wakil dari negara pengirim.
Bila perbuatan Kriminal dilakukan oleh seorang pejabat dipomatik, negara penerima dapat melaporkan peristiwanya kepada pemerintah negara pengirim dan dalam kasus-kasus yang serius dapat memintanya kembali pulang dan diadili sesuai peraturan perundang-undangan negerinya sendiri. Terhadap pelanggaran yang sangat serius misalnya ikut serta berkomplot untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, negara penerima dapat menahan dan mengusirnya.[49] Meskipun para pejabat diplomatik diberikan kekebalan” terhadap jurisdiksi sipil maupun criminal. Kekebalan tersebut dapat ditanggalkan atau dihapus. Mengenai penaggalan atau penghapusan kekebalan diplomatik ini ditentukan dalam pasal 32 Konvensi Wina 1961.[50]
Kemudian Mengenai Pertanggungjawaban negara berkaitan erat dengan suatu kaidah di mana prinsip fundamental hukum internasional menyebutkan  bahwa negara atau suatu pihak yang dirugikan berhak mendapat ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Suatu doktrin serupa berlaku dalam kaitannya dengan unit-unit bagian lain dari negara-negara pada umumnya. baik federal maupun kesatuan. Laporan tahun 1974 Komisi Hukum Internasional menyebutkan:
“ Prinsip bahwa negara bertanggung jawab atas tindakan-tindakan dan kelalaian-kelalaian organ-organ dari kesatuan-kesatuan pemerintah teritorial, seperti kotapraja dan propinsi, dan daerah-daerah, telah lama diakui secara tegas di dalam keputusan-keputusan judisial internasional dan praktik-praktik negara.”
Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang mungkin ditimbulkannya. Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara itu merugikan negara lain.
Tanggung jawab negara dalam hukum internasional merujuk pada pertanggungjawaban, yaitu satu negara terhadap negara lain akan ketidaktaatannya pada memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh sistem hukum internasional. Suatu negara dapat meminta pertanggungjawaban bagi kerugian kepada negara tergugat itu sendiri. Seperti, pelanggaran kewajiban perjanjian atau kerugian terhadap warga negara dari negara tergugat atau hak milik mereka. Jadi dalam hal ini negara pengirim dapat dibebeani tanggung jawab oleh negara penerima karena suatu pejabat diplomat adalah Representative Character dari negara pengirim atau dengan kata lain wakil dari suatu negara pengirim di negara penerima.
Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-hak negara lain. Seperti yang dikemukakan oleh Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab negara ini bergantung kepada faktor-faktor dasar:
a.       Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara kedua negara tertentu.
b.      Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara.
c.       Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.[51]
Pemulihan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat berupa satisfaction atau pecuniary reparation. Satisfaction merupakan pemulihan atas perbuatan yang melanggar kehormatan negara. Satisfaction dilakukan melalui  perundingan diplomatik dan cukup diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi atau jaminan tidak akan terulangnya perbuatan itu. Sedangkan pecuniary reparation dilakukan bila pelanggaran itu menimbulkan kerugian material.[52]
Pada prinsipnya setiap negara bebas untuk menentukan siapa saja yang termasuk warga negara dan orang asing. Persoalan kewarganegaraan merupakan persoalan dalam negeri suatu negara yang berkaitan dengan perlindungan warga negara, kepentingan ekonomi, sosial, dan perlindungan hak asasi yang bersumber kepada kepentingan nasional. oleh karena itu, pertanggungjawaban negara merupakan pedoman penting dalam memberikan karakteristik terhadap keberadaan hukum internasional.
Jadi dalam hal upaya hukum yang dapat dilakukan oleh negara penerima terhadap pejabat diplomatik yang tidak menjalankan fungsi dan tujuan gedung diplomatik sebagaimana mestinya di negara penerima adalah dengan cara pertama meminta kepada kepala negara dari negara pengirim untuk dapat menanggalkan hak kebal dari pejabat diplomatik yang sedang ditugaskan di negara penerima agar pejabat diplomatik tersebut dapat diadili sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara penerima, namun jika hal itu tidak dapat dilakukan maka dapat dilakukan deklarasi persona non grata dari negara penerima terhadap pejabat diplomatik yang bersangkutan sehingga dengan segera pejabat diplomatik tersebut harus angkat kaki meninggalkan negara penerima. Akan tetapi tidak serta merta pejabat diplomatik yang dipersona non grata oleh negara penerima itu lolos dari jeratan hukum di negara asalnya sebagaimana sudah disebutkan dalam pasal 31 ayat 4, jadi negara pengirim harus mengadili pejabat diplomatik yang bersangkutan sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara pengirim atau negara asal diplomatik tersebut. Selain itu apabila negara penerima merasa dirugikan oleh perbuatan yang telah dilakukan pejabat diplomatik dari negara pengirim, maka negara penerima berhak menuntut pertanggungjawaban kepada negara pengirim karena pejabat diplomatik merupakan wakil dari negara pengirim di negara penerima dan tuntutan pertanggungjawaban itu dapat berupa satisfaction bila perbuatan yang dilakukan pejabat diplomatik yang bersangkutan dianggap telah melanggar kehormatan negara penerima. Satisfaction dilakukan melalui  perundingan diplomatik dan cukup diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi atau jaminan tidak akan terulangnya perbuatan itu. Sedangkan pecuniary reparation dilakukan bila pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat diplomatik yang bersangkutan itu menimbulkan kerugian material di negara penerima, sehingga negara penerima mempunyai hak untuk meminta ganti rugi materiil kepada negaran pengirim atas perbutan pejabat diplomatiknya yang sedang menjalankan misinya di negara penerima.















BAB V
PENUTUP

A.    kesimpulan
1.      Dalam Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961 mengatur bahwa gedung perwakilan tidak boleh digunakan dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Wina 1961 atau oleh aturan-aturan lain dari hukum internasional atau oleh persetujuan-persetujuan khusus yang berlaku antar negara pengirim dan negara penerima. Atas dasar ini, negara pengirim tidak boleh menggunakan gedung perwakilannya sebagai tempat untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan gedung tersebut sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Wina 1961, sehingga gedung perwakilan asing tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan tugas-tugas diplomatik. Maka dalam hal ini alternative penyelesaiannya adalah negara penerima dapat menerobos atau memaksa masuk ke gedung kedutaan besar negara pengirim tersebut yang disinyalir atau diindikasi kuat telah menyalahgunakan gedung perwakilan tersebut tidak sesuai fungsinya sehingga dapat membahayakan kedaulatan, keamanan dan kedamaian dari negara penerima dengan dasar melakukan beberapa tindakan. Pertama, Pemerintah negara penerima dapat masuk secara paksa ke dalam kantor Kedutaan Negara pengirm. Hal ini dapat dibenarkan secara hukum internasional, karena apabila terjadi dakwaan atau adanya bukti-bukti yang memperkuat bahwa fungsi perwakilan asing tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961, maka pemerintah negara penerima dapat memasuki gedung tersebut dan disaksikan oleh duta besar dari negara pengirim. Oleh karena itu dinyatakan oleh Brierly bahwa dalam hal-hal yang luar biasa, meskipun tidak dinyatakan dalam konvensinya sendiri. Kedua, prinsip tidak diganggu gugat itu menurut pendapat Komisi Hukum Internasional tidak menutup adanya kemungkinan bagi negara penerima untuk mengambil tindakan terhadap diplomat atau perwakilan asing di negara tersebut dalam rangka bela diri atau menghindarkan adanya tindak pidana.
2.      Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Negara Penerima Terhadap Pejabat Diplomat Yang Tidak Menjalankan Fungsi Dan Tujuan Gedung Diplomat Sebagaimana Mestinya, hal ini diatur dalam beberapa ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 dimana terdapat beberapa pasal yang dapat diterapkan sebagai penyelesaian oleh negara penerima dalam hal menghadapi pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat perwakilan diplomatik tersebut, antara lain:
1)      Persona non Grata, dan penarikan kembali oleh negara pengirim terhadap pejabat diplomatik tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 9 Konvensi Wina 1961.
2)      Penanggalan kekebalan dari kekuasaan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 32 Konvensi Wina.
3)      Recall untuk menjaga hubungan kedua negara.
Kemudian apabila tindakan sebagaimana yang telah dilakukan oleh pejabat diplomatik dianggap telah merugikan suatau negara penerima. Maka suatu negara penerima dapat meminta pertanggungjawaban bagi kerugian kepada negara tergugat itu sendiri (negara pengirim). Pemulihan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat berupa satisfaction atau pecuniary reparation. Satisfaction merupakan pemulihan atas perbuatan yang melanggar kehormatan negara. Satisfaction dilakukan melalui  perundingan diplomatik dan cukup diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi atau jaminan tidak akan terulangnya perbuatan itu. Sedangkan pecuniary reparation dilakukan bila pelanggaran itu menimbulkan kerugian material.
B.     Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis sehubungan dengan masalah penyalahgunaan hak-hak istimewa dan kekebalan yang diberikan kepada para pejabat diplomatik termasuk gedung perwakilan diplomatik para pejabat diplomatik adalah :
1.      Bagi pejabat Diplomatik yang bersangkutan
Sudah selayaknya para pejabat diplomatik yang dikirim untuk mewakili atau menjalankan misinya di negara penerima lebih mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara penerima dan memperbaiki moral indiviu masing-masing pejabat diplomatik, karena kalau tidak akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut :
1)      Bagi negara yang tersangkut dalam hal penyalahgunaan hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik akan sulit membuka hubungan dengan negara lain
2)      Negara tersebut akan mendapat pengawasan yang ketat dari badan dunia yang mengawasi para pejabat diplomatiknya yang ditugaskan di negara-negara penerima.
3)      Masa depan bangsa dan negara tersebut akan terancam, karena akibat dari penyalahgunaan hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik tersebut dapat sangat merusak berbagai bidang kehidupan suatu negara.
4)      Hubungan luar negerinya baik multilateral ataupun juga bilateral akan dapat mengakibatkan keretakan.
2.      Bagi Pemerintah (Negara Penerima)
Kepada pemerintah diharapkan lebih waspada dan teliti dengan keberadaan pejabat diplomatik di dalam negerinya, namun bukan berarti mencurigai setiap tindakan ataupun gerakan yang dilakukan oleh para pejabat diplomat yang menjalankan misinya di negara penerima. Jadi pemerintah setempat harus lebih tegas terhadap para pejabat diplomatik yang dianggap atau disinyalir kuat tidak menjalankan misinya sebagaimana mestinya dan harus sering mensosialisasikan peraturan-peraturan setempat yang berlaku .




[1] Setyo widagdo,2008,Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayu Media Publishing, Malang, hal-
[2] Penyelesaian sengketa dari situs www.lawonlinelibrary.com diakses pada tanggal 2 februari 2010 jam 15.00
[3] Setyo widagdo, op.cit, hal 6
[4] Boer Mauna,Hukum Internasional (pengertian,peranan dan fungsi dalam era dinamika global). P.T.ALUMNI,2005,Bandung,hal 17 dan 23-24
[6] Boer Mauna,2005,Hukum Internasional (pengertian,peranan dan fungsi dalam era dinamika global),ALUMNI,Bandung,hal 8
[7] Sumber Hukum Internasional dari situs Roysanjaya.blogspot.com diakses tanggal 4 februari 2010 pukul 14.09
[8] ibid
[9] ibid
[10] Boer Mauna, op.cit., hal 11
[11] Roysanjaya.blogspot.com, op.cit.
[12] L. Dembinski, 1988, The Modern Law of Diplomacy, Martinus Nijhoff Publishers, Netherland,  hal 1
[13] Setyo widagdo,op.cit., hal 4-6
[14] Roysanjaya.blogspot.com, op.cit.,
[15] Fungsi, tugas, peranan dan tujuan diplomatik dari situs  askhana.blogspot.com diakses tanggal 3 februari 2010 pukul 14.00
[16] Setyo widagdo, op.cit., hal 45-47
[17] J.G. Starke,1988, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hal 566
[18] J.G. Starke, op.cit., hal 572
[19] AskHana.blogspot.com, op.cit.,
[20] AskHana.blogspot.com, op.cit.,
[21] www,lawonlinelibrary.com, op.cit.,
[22] Sumaryo Suryokusumo,1955, Hukum Diplomatik (Teori dan Kasus), ALUMNI, Bandung, hal 69-73.
[23] Tanggung jawab Internasional dari situs FSQ.blogspot.com diakses tanggal 8 februari 2010 pukul 08.13
[24] Soeryono Soekanto,1990,  Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), C.V Rajawali, Jakarta,.

[25] Kamus besar bahasa Indonesia.2002, Balai Pustaka, Jakarta, hal 267
[26] Ibid,halaman 267
[27] Setyo widagdo, op.cit., hal 6
[28] Kamus besar bahasa Indonesia, op.cit.,  hal 267   
[29] Kamus besar bahasa Indonesia, Op.cit., hal 1185
[30] Kamus besar bahasa Indonesia, Op.cit., hal 814
[31] Kamus besar bahasa Indonesia, Op.cit., hal 342
[32] Sumaryo suryokusumo, Op.cit., hal 161.
[33] Sumaryo suryokusumo, Op.cit., hal 162
[34] Sumaryo suryokusumo, Op.cit., hal 163
[35] Sumaryo suryokusumo, Op.cit., hal 164
[36] Sumaryo suryokusumo, Op.cit., hal 166
[37] Mochtar Kusumaatmadja, 1976, pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, hal 3 dan 4.
                                                                                                                  
[38] Sumaryo Suryokusumo,1955, Hukum Diplomatik (Teori dan Kasus), ALUMNI, Bandung, hal 50
[39] Ibid, hal 55-56
[40] Setyo widagdo,2008,Masalah-Masalah Hukum Internasional Publik, Bayu Media Publishing, Malang, hal 103-104

[41] Konvensi Wina 1961
[43]Sumaryo suryokusumo, op.cit., hal 74
[44]Syahmin AK, 1984,  Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Armico, Bandung, hal 82
[45] Boer Mauna,Hukum Internasional (pengertian,peranan dan fungsi dalam era dinamika global). P.T.ALUMNI,2005,Bandung,hal 552.
[46] Edy Suryono, perkembangan hukum diplomatik, penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, tahun 1992 hal 60
[47] Setyo widagdo, op.cit, hal 100
[48] Pelanggaran yang dilakukan pejabat dan staff diplomatik dari situs www.lawonlinelibrary.com diakses pada tanggal 2 februari 2010 jam 15.00
[49] Satow’s, 1979,  Guide of  Diplomatik practice,edisi ke-5 Longman Group Limited, London, hal 181
[50] Edy Suryono, perkembangan hukum diplomatik, penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, tahun 1992 hal 60
[51]Hubungan Internasional dari situs Gozel.blogspot.com diakses tanggal 4 februari 2010 pukul 14.09

1 komentar: